Inflasi Usia Pemuda

Tahun 2009 keluar Undang-undang Kepemudaan (No. 40/2009) yang menyebutkan bahwa Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun.

Apakah layak usia 16 tahun mulai dikatakan sebagai pemuda? Apakah usia demikian terlalu tua (terlambat) atau terlalu muda (kemudaan) untuk dikatakan pemuda? Dalam UU Perkawinan yang baru (UU No. 16/2019) batas minimal usia menikah bahkan dinaikkan menjadi 19 tahun, naik dari UU Perkawinan sebelumnya (No. 1/1974) yaitu 16 tahun.

Banyak orang, mungkin juga mereka yang menyusun UU tersebut mengira bahwa anak usia 16 tahun “belum mampu” apa-apa. Mereka masih sekolah kurang lebih kelas 12 (kelas 3 SMA). Mungkin masih suka bermain, masih manja dan belum serius menjalani kehidupan. Sehingga muncul kalimat nyinyir, jika dulu Bung Karno berteriak, “Berikan aku 10 pemuda, akan aku guncang dunia!” Tapi mungkin sekarang, “Berikan aku 10 pemuda, akan aku bentuk boyband” dengan ucapan sedikit melambai. Mungkin salah satunya karena pengaruh budaya K-Pop atau budaya TikTok yang “mengguncang” kaum pemuda.

Namun, betulkah demikian? Apakah potensi secara fisik dan psikis seseorang orang itu berkiprah dan berkarya di usia 16 tahun terlambat atau terlalu cepat? Mari kita bandingkan dengan pemuda-pemuda dalam lintasan sejarah. Tentu hanya acak saja karena terbatasnya tulisan.

Misal, Imam Syafii umur 6 tahun sudah hapal al-Quran, umur 10 tahun hapal kitab al-Muwatta’ karangan gurunya Imam Malik dan umur 16 tahun sudah berfatwa. Kita tahu otoritas seorang mufti (ulama yang mampu berfatwa) seperti apa. Dia tidak saja menguasai ilmu agama, tapi juga mampu mengeluarkan (mengistimbath) suatu hukum dalam agama.

Ibnu Sina, yang terkenal dengan kitab kedokterannya yang berjudul Qanun fi at-Tibb dan dijadikan rujukan dokter-dokter di Eropa selama 600 tahun lebih, menjadi dokter istana umur 18 tahun. Bukan dokter biasa, tapi tidak tanggung-tanggung yaitu dokter istana! Tentu istana akan memilih dokter terbaik di antara dokter-dokter yang ada.

Kita mengenal sahabat Nabi saw bernama Usamah bin Zaid yang pada usia 18 tahun sudah memimpin pasukan yang anggotanya adalah para pembesar sahabat seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk menghadapi pasukan terbesar dan terkuat waktu itu. Juga Sa’ad bin Abi Waqqash dalam usia 17 tahun sudah berjihad di jalan Allah dan termasuk dari enam orang ahlus syuro (mungkin MPR kalau di jaman orde baru). Lalu ada Arqam bin Abil Arqam yang ketika usia 16 tahun rumahnya dijadikan markas dakwah Nabi.

Zubair bin Awwam pada usia 15 tahun berperang dan menjadi pengawal Rasulullah. Zaid bin Tsabit pd usia 13 tahun menjadi penulis wahyu dan dalam 17 malam mampu menguasai bahasa Suryani sehingga menjadi penerjemah Nabi. Atab bin Usaid diangkat oleh Rasullullah saw sebagai gubernur Makkah pada umur 18 tahun. Mu’adz bin Amr bin Jamuh (13 tahun) dan Mu’awwidz bin ‘Afra (14 tahun) membunuh Abu Jahal, musuh utama kaum muslimin dan jenderal kaum musyrikin, pada saat perang Badar.

Muhammad Al Fatih pada usia 22 tahun menaklukkan Konstantinopel ibu kota Byzantium pada saat para jenderal agung merasa putus asa. Abdurrahman An-Nashir pada usia 21 tahun membawa Andalusia (sekarang wilayah Spanyol, Portugal dan sebagian Perancis) mencapai puncak keemasannya. Kalau diuraikan lagi tentu masih banyak.

Tidak usah jauh-jauh, sejarah negeri kita sendiri pun mencatat kecemerlangan kaum pemuda. Muhammad Yamin merancang teks Sumpah Pemuda, yang diperingati setiap tahun sebagai Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, pada saat beliau berusia 25 tahun. Mr Sugondo yang membacakannya pada waktu itu bahkan baru berusia 23 tahun.

Mr Sunario yang memimpin kongres tersebut waktu itu berumur 26 tahun. WR Supratman, yang melantunkan lagu ciptaannya, yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia berjudul “Indonesia Raya” di kongres Pemuda ke-2, pada saat beliau berusia 25 tahun. Meskipun kemerdekaan baru terjadi 17 tahun kemudian, tapi mereka sangat visioner dengan menyebut kata Indonesia yang menyatukan tanah air, bangsa dan bahasa, termasuk lagi kebangsaannya menjadi satu. Tokoh-tokoh lain pendiri republik (founding fathers) ini pun demikian, mereka rata-rata berusia muda.

Jika pemuda kita saat ini (termasuk saya sekitar 30-an tahun yang lalu) seusia tokoh-tokoh di atas ketika berkiprah, sepertinya kita belum apa-apa. Mungkin ada yang salah dengan dunia pendidikan kita.

Prof Nanang Fatah, pakar pendidikan dari UPI Bandung, dosen S3 saya dulu di UIKA Bogor, mempertanyakan mengapa pendidikan SD harus ditempuh 6 tahun, SMP/SMA 3 tahun? Itu bukan harga mati dan bisa direvisi. SD bisa cukup 4 th, SMP/SMA bisa 2 thn, kuliah cukup 3 thn, sehingga lulusan sarjana bisa usia 17 tahun. Dan jika ingin meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi bisa usia 22 tahun sudah menjadi doktor.

Mungkin umur 30 tahun, jika ia sebagai peneliti sudah bisa meraih hadiah Nobel. Kondisi sekarang boleh dibilang inflasi usia alias terlambat. Untuk melakukan sesuatu usianya lebih tinggi dari pada sebelumnya.

Dr Adian Husaini, pakar pendidikan Islam mencontohkan, untuk lulus S1 perlu 144-160 SKS, katakanlah 150 SKS. Satu mata kuliah rata-rata 3 SKS. Jadi total ada 50 mata kuliah. Jika satu mata kuliah dengan 3 SKS butuh 16 pertemuan (termasuk UTS dan UAS) @ 1 jam 45 menit maka untuk satu mata kuliah butuh 28 jam menyelesaikannya. Itu artinya cukup satu pekan dari Senin sampai Jumat dengan jam belajar 6 jam sehari (jam 07.00-13.00) untuk menyelesaikan 1 mata kuliah.

Jadi untuk lulus S1 hanya butuh waktu 50 minggu, alias kurang dari 1 tahun. Okelah, tambah libur Ramadhan, akhir tahun, praktikum (bagi jurusan sains), ekstra kurikuler (meski bisa pakai waktu setelah jam 13.00 atau hari sabtu) kalikan saja 2 maka total 2 tahun jadi sarjana S1. Ini tentu debatable. Silakan duduk bersama untuk dibicarakan, yang penting kita semua open minded. Soal gagasan peremajaan usia belajar ini Dr. Adian tidak saja berteori tapi juga sudah mempraktekkan di pesantren dan college-nya.

Itu hanya satu isu di dunia pendidikan. Belum bidang-bidang yang lain. Pemerintah melalui menteri pemuda mestinya bisa menggerakkan seluruh bangsa ini, baik pemerintah, DPR maupun seluruh komponen masyarakat untuk menjadikan bangsa ini maju dengan keterlibatan para pemuda. Bukan orang-orang tua yang terus menerus maju, yang tidak saja tidak melakukan regenerasi, tapi juga bisa menghalangi anak-anak muda itu untuk tampil dan berkiprah bagi masyarakat.

Salah satu ciri pemuda adalah terbuka pikirannya (open minded). Semoga bapak-bapak yang di atas, meskipun usia sudah tidak lagi muda tapi masih berjiwa mudah, juga memiliki jiwa open minded dan mau menerima masukan ini. Pekayon Jaya, 28 Oktober 2021.

Sumber :
Tulisan : Inflasi Usia Pemuda, indonesiainside.id, Aza
Oleh : Dr. H. Budi Handrianto, M.Pd.I (Dosen Pascasarjana UIKA Bogor)

You may also like...